
Berbicara mengenai Generasi Z yang kesulitan dalam berkomunikasi secara efektif selama proses wawancara pekerjaan, hal itu membuatku teringat akan masa-masa awal setelah lulus kuliah dan melaksanakan sesi wawancara kerja perdana ku.
Setelah beberapa pertanyaan, pewawancara bertanya:
"Kamu bisa pemrograman bahasa X versi berapa?".
"Apapun versinya boleh," jawabku. Saya sesungguhnya tak mengetahui pasti tentang semua versi tersebut dan juga belum pernah mencoba menggunakan bahasa pemrograman tertentu itu sebelumnya. Yang saya punya hanyalah sedikit pengetahuan dari proyek-proyek sekolah tempat keterampilan dasar pemrogramanku diujicobakan. Meski begitu, aku cukup paham tentang konsep-konsep utama program karena telah belajar mandiri melalui catatan-catatan hasil pekerjaan teman-teman satu kelompok saat mengerjakan praktikum bersama dengan jumlah anggota tim maksimum tiga orang. Dengan demikian, saya merasa yakin bahwa suatu hari nanti dapat berkembang sebagai programmer profesional.
Menurut ingatan saya, sang pewawancara yang pada akhirnya menjadi atasanku pun terbahak mendengar jawaban konyol tersebut.
Saya malah lebih terkesan dengan omongannya yang lain tentang buku-buku komputer di perpustakaan pribadinya yang boleh saya pinjam. Memangnya bakal diterima? koq sudah ngomongin pinjam buku segala. Begitu pikir saya ketika itu.
Ternyata saya memang diterima, dan saya tahu mereka tidak salah merekrut saya.
***
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk melakukan skill assessment terhadap beberapa orang gen Z. Saya minta mereka untuk membuat solusi dari contoh kasus yang saya siapkan, kemudian mempresentasikannya.
Dari hasil presentasi mereka, saya coba menggali tentang solusi yang mereka buat. Kesimpulan sementara saya ketika itu adalah, mereka kurang bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan. Karena mayoritas diantara mereka beralasan atas hasil kerjanya: "Sesuai yang diajarkan", atau "Diajarkannya seperti itu".
Namun, mereka tidak bisa memaparkan alasannya secara rinci. Dengan kata lain, mereka cuma menyetujui apa pun yang disodorkan tanpa usaha untuk menyelidiki lebih jauh.
Saat ujian sekolah, mungkin jawaban seperti itu masih bisa diterima. Tetapi ketika terjun ke dunia kerja, teori sesuai yang diajarkan itu harus benar-benar dimengerti, bukan cuma dihapalkan. Karena mereka harus mengimplementasikan teori itu dalam praktek, dan bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan.
Andai solusi yang mereka buat salah, namun mereka dapat menjelaskan alasan mengapa mereka membuat seperti itu, saya kira itu jauh lebih baik daripada sekedar menunjuk pihak lain, dengan alasan pihak lain ini mengajari mereke seperti itu.
Poin lainnya adalah bahwa respons semacam itu mengindikasikan rendahnya kreativitas mereka.
Apabila mereka hanya sanggup menyembunyikan diri di balik orang lain serta kurang memiliki keingintahuan, menurut saya posisi yang tepat bagi mereka adalah sebagai pelamar kerja atau maganger, sebelum diberi kesempatan mengemban tanggung jawab dalam melakukan pekerjaan tertentu. Sebab mereka perlu mempelajari bagaimana cara bekerja dengan baik, memahami konsep pertanggunganjawaban terhadap setiap tindakan yang dilakukan, serta meningkatkan kemampuan berinisiatif.
Menurut pendapat saya, hal ini tidak melulu berkaitan dengan kemampuan untuk berbicara, namun juga terkait dengan inisiatif serta rasa bertanggung jawab.
Apabila masalahnya hanyalah kesulitan dalam menyampaikan jawaban secara verbal meskipun kemampuan kerja sudah ada, maka latihan public speaking bisa menjadi pilihan. Ketika sedang melakukan sesi wawancara, interviewer sebenarnya juga dapat memodifikasi metode interaksinya seperti memberikan petunjuk atau clue sehingga membuat subjek wawancara lebih terdorong untuk mencari dan merumuskan jawaban yang tepat.
Mereka boleh jadi dapat berkarier, namun motivasi serta kewajiban perlu menjadi dasar utama sebelum terjun ke dunia kerja. Motivasi ini akan membantu mereka untuk mengembangkan diri tanpa bantuan orang lain, menemukan informasi yang dibutuhkan, serta bersedia mendengarkan pelajaran dari para mentor.
Sementara tanggung jawab, adalah seuatu yang sangat penting. Mungkin generasi terdahulu masih ingat ketika ada persyaratan dalam lowongan pekerjaan menyebutkan: "Mampu bekerja dengan minimal supervision". Saya kira, termasuk didalamnya adalah mampu bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Karena kenyataannya, tanpa melihat fresh graduate atau bukan, setelah terjun ke dunia kerja, semua orang diharapkan punya inisiatif dan tanggung jawab.
Sebab kenyataannya, setiap individu akan disibukkan oleh tugas masing-masing. Termasuk pula bagi yang ditugaskan untuk melatih lulusan baru, mereka tetap memiliki tanggung jawab di tempat kerja lainnya selain hanya fokus pada pelatihan semata. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban memastikan bahwa output dari para pemuda tersebut sesuai dengan standar perusahaan.
Sangat bermanfaat apabila para lulusan baru ini tidak sembarangan dalam menyelesaikan tugas, melainkan juga bisa mengambil tanggung jawabnya. Paling sedikit mereka harus bertanggung jawab kepada pembimbing senior mereka.
Jadi, saya kira, masalah Gen Z bukan hanya tidak dapat menjawab pertanyaan interview, tetapi tentang kesadaran akan tanggung jawab dan inisiatif mereka terhadap diri sendiri, yang berefek juga terhadap orang lain yang berkaitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar