Kreasi kuliner terus berkembang, menawarkan variasi menu dan metode memasak yang semakin inovatif. Namun, konsep penyajian menjadi elemen yang tak kalah menarik, terutama di pusat perdagangan atau kawasan wisata yang sering kali menghadirkan restoran tematik dengan konsep unik.
Salah satu pengalaman menarik penulis terjadi di Kota Lama, Semarang. Sebuah restoran dengan tema klasik dan nuansa tempo dulu menyajikan pengalaman yang langka, yaitu "ruang masa lalu".
Jejak Sejarah di Kota Lama Semarang
Setibanya di Semarang pada tanggal 16 Agustus 2025, penulis langsung memulai misi penjelajahan. Gang-gang sempit dan deretan gedung bergaya arsitektur kolonial menjadi saksi bisu sejarah. Di tengah teriknya matahari yang menyengat, setelah sekitar 2,5 jam berjalan, energi penulis mulai terkuras. Menyadari waktu yang hampir menunjukkan waktu asar, penulis memutuskan untuk kembali ke penginapan, sebuah bangunan kuno dengan jendela berukir.
Setelah beristirahat sejenak, rasa lapar mulai menggoda. Di depan penginapan, penulis menemukan sebuah restoran yang lokasinya begitu strategis, seolah hanya selangkah dari trotoar.
Restoran "Sego Bancakan Pawone Simbah": Sentuhan Klasik Nan Otentik
Penanda nama restoran, "Sego Bancakan, Pawone Simbah," tertulis di atas pintu besi yang terbuka. Pola lengkung pada pintu dan jendela mengingatkan pada arsitektur Islam, namun keseluruhan bangunan lebih condong mengadopsi gaya Victoria. Bangunan ini memiliki ciri khas: berukuran besar, berjendela lebar, dan dilengkapi menara beratap runcing. Meskipun tidak terlalu rumit, kesan megah dan klasik terpancar kuat dari fasadnya.
Nama restoran sendiri, "Sego Bancakan, Pawone Simbah," membangkitkan imajinasi tentang masakan rumahan ala dapur nenek. Tanpa ragu, penulis memasuki restoran, penasaran dengan aroma yang belum tercium.
Pengalaman Bersantap dengan Konsep "Ambil Sendiri"
Penyambutan di pintu masuk restoran begitu kontras dengan suasana luar. Detail ornamen yang disajikan terasa menyegarkan mata. Seorang petugas yang mengenakan kebaya kutubaru motif jumputan menyapa dengan ramah, "Selamat datang, Kak." Di dekat meja resepsionis yang juga berfungsi sebagai kasir, terlihat deretan permen jadul yang tersaji di meja samping.
Biasanya, saat melakukan perjalanan, penulis tidak memiliki ekspektasi tinggi terhadap tempat makan dan rasa masakan. Namun, kali ini, pengalaman di "Sego Bancakan Pawone Simbah" sungguh tak terduga. Penulis terdiam sejenak, menatap sebuah meja panjang yang dihiasi panci dan baskom blirik berisi beragam hidangan. Konsep makan di sini adalah pengunjung memilih dan mengambil sendiri makanan, kemudian duduk di tempat yang tersedia. Petugas akan mendatangi meja untuk mencatat pilihan lauk yang diambil.
Dalam keadaan normal, penulis hanya bisa mentolerir tingkat kepedasan sedang hingga ringan. Namun, dalam momen perjalanan seperti ini, tingkat kepedasan disesuaikan menjadi lebih tipis untuk menjaga kenyamanan perut. Penulis berusaha memilih menu yang "aman" sembari melirik lele yang tampak "bersantai" dalam panci blirik.
Kelezatan Mangut Lele dan Tempe Bacem
Penulis memutuskan untuk memilih nasi putih, sayur sop, tempe bacem, dan tentu saja, mangut lele. Mangut lele merupakan masakan tradisional yang populer di Semarang dan beberapa wilayah Pulau Jawa lainnya, biasanya berbahan dasar ikan yang digoreng, diasap, atau dibakar. Penulis ingin menikmati cita rasa otentik dari rempah, santan, dan cabai yang berpadu dalam bumbu mangut, dengan harapan tingkat kepedasannya tidak berlebihan. Porsi yang diambil secukupnya untuk mengisi energi sebelum melanjutkan perjalanan menuju masjid kuno yang berjarak sekitar 600 meter.
Menjelajahi "Ruang Masa Lalu"
Ruang restoran berbentuk persegi memanjang ke belakang. Area sisi kiri tengah hingga belakang difungsikan sebagai area display makanan, dapur, dan kemungkinan ruang karyawan. Sementara itu, area yang dapat dijelajahi pengunjung membentuk huruf "L" (dalam cerminan). Penulis tertarik pada dua ruang di masing-masing ujung. Ruang pertama di ujung depan adalah tempat penulis makan, dan ruang kedua di ujung belakang adalah "Ruang Masa Lalu" yang penuh misteri.
Saat melihat pintu menuju ruang lain, penulis teringat pada kisah Lucy Pevensie dalam "The Chronicles of Narnia" karya C.S. Lewis, yang menemukan pintu ajaib ke dunia lain. Di restoran ini, sekat dan pintu antarruang bersifat tembus pandang, memungkinkan penulis melihat apa yang ada di baliknya. Rasa penasaran bercampur dengan ketenangan. Jika Lucy membuka deretan mantel bulu untuk menuju dunia lain, di restoran ini, penulis menyibak juntaian potongan plastik tebal untuk memasuki "Ruang Masa Lalu". Perlahan, seolah terdengar bisikan lembut, "Bersiap untuk petualangan baru, jelajah masa lalu!"
Kekayaan Benda Peninggalan Tempo Dulu
Pandangan penulis tertuju pada benda-benda yang tertata rapi di dinding. Sebagian dikenali, sebagian lagi baru pernah dilihat, seolah benda-benda tersebut ada jauh sebelum penulis dilahirkan. Semuanya tertata apik di rak dan ambalan. Di bagian tengah ruangan, terdapat pasangan kursi kuno bersandaran rendah, seolah mengundang untuk duduk santai, menikmati suasana tempo doeloe di kediaman simbah, mendengarkan musik langgam jadul, dan berkisah klasik sembari menanti wedangan khas dari pawon.
Teh Nusantara: Warisan Budaya yang Terus Hidup
Di pawon simbah, teh diseduh perlahan, mengeluarkan warna dan aroma terbaiknya. Saat disajikan di ruang keluarga, kepulan asap dari cangkir-cangkir di atas baki menghadirkan makna tersendiri. Citarasa teh selalu menghadirkan kehangatan dan rasa kebersamaan. Berakar dari kebiasaan nenek moyang, tradisi minum teh terus berlanjut hingga kini. Sebagai penikmat, generasi saat ini memiliki peran penting dalam melestarikan tradisi ini.
Teh bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi perlu terus dikembangkan agar relevan dan berkelanjutan di masa mendatang. Sejarah tanaman teh di Indonesia dimulai sekitar tahun 1684, ketika biji teh asal Jepang dibawa oleh seorang warga Jerman untuk ditanam di Batavia. Catatan lain menyebutkan seorang rahib Belanda melihat tanaman teh di depan rumah gubernur jenderal VOC di Batavia. Periode kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia dianggap sebagai masa pengenalan teh ke nusantara.
Perkebunan teh kemudian meluas, produksi meningkat, dan Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil teh terbesar di dunia. Provinsi Jawa Tengah sendiri merupakan produsen teh terbesar kedua di Indonesia, dengan perkebunan tersebar di Tegal, Solo, Batang, dan Pekalongan.
Penulis terpesona melihat berbagai jenis teh dalam kemasan kertas tradisional. Setiap kemasan memiliki penamaan dan gambar yang unik, seolah menyuarakan identitas masing-masing teh.
Perkenalan dengan Ragam Teh Khas Indonesia
Penulis membayangkan memanggil satu per satu teh tersebut, seperti cek kehadiran di kelas:
-
Teh Tegal:
- Teh Poci: Sebuah tradisi turun-temurun yang menggunakan poci dan cangkir tanah liat. Biasanya disajikan panas dengan gula batu. Sebagian orang percaya bahwa tidak mencuci poci setelah digunakan dapat menambah cita rasa dan aroma. Filosofinya adalah WASGITEL (wangi, panas, sepet, legi, kentel), dengan warna hitam pekat dan harum melati.
-
Teh Solo:
- Teh 666: Dikenal sebagai "Teh jang paling enak". Memiliki aroma melati yang kuat dan mudah ditemukan di pasar-pasar tradisional Solo. Merupakan teh tradisional yang bubuk daunnya diseduh langsung tanpa disaring, sehingga dikenal sebagai "TEH TUBRUK".
-
Teh Batang, Pekalongan:
- Teh Dandang: Memiliki rasa sepet dengan aroma melati. Meskipun berlokasi utama di Batang, Pekalongan, perusahaan teh ini mengelola perkebunan di Bengkulu dan Sumatera Barat.
- Teh Cap Ceret: Memiliki rasa sepet, pekat, dan wangi melati. Nikmat disajikan bersama gula batu atau pemanis lainnya.
- Teh Cap Sintren: Kemasan kertasnya bergambar wanita menari sintren. Teh ini memiliki aroma bunga melati. Dapat dikombinasikan dengan teh lain untuk mendapatkan rasa, warna, dan aroma yang diinginkan.
Kenangan yang Terputus
Penulis merasa masih ingin berlama-lama di tempat ini, namun waktu transit yang singkat memaksa untuk melanjutkan perjalanan. Momen ini akan dikenang sebagai sebuah kenangan. Ada kalanya kenangan hanya perlu dilihat sekilas, namun ada pula yang perlu dihadirkan kembali sebagai pengingat dan pelajaran untuk perjalanan ke depan.
Namun, ada satu hal yang sulit disampaikan. Suatu hari di bulan lalu, saat berniat merekomendasikan restoran ini kepada rekan kerja yang akan bertugas ke Semarang, penulis mencari informasi jam buka-tutupnya. Penulis mendapati status restoran sedang tutup sementara, disertai berita terbaru dan foto-foto insiden yang mengejutkan.
Menurut pemberitaan tersebut, pada dini hari tanggal 27 Agustus 2025, terjadi insiden kebakaran yang membesar. Dari foto yang ditampilkan setelah petugas berhasil memadamkan api, terlihat bangunan kuno masih berdiri meskipun atapnya telah terbuka. Sangat disayangkan, area restoran sementara tidak dapat dikunjungi.
Penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaan pembaca untuk singgah dan membaca, serta menyampaikan salam hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar