
Di era digital yang semakin maju, kemampuan untuk membedakan antara realitas dan kepalsuan menjadi semakin penting. Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (AI) telah melahirkan video-video sintetik atau deepfake yang begitu meyakinkan, sehingga seringkali sulit dibedakan dari video asli. Namun, mengapa sebagian orang lebih mudah tertipu oleh video deepfake dibandingkan yang lain? Ternyata, faktor-faktor psikologis dan pola pikir tertentu memainkan peran penting dalam kemampuan seseorang untuk mendeteksi video palsu.
Berikut adalah beberapa ciri kepribadian dan kecenderungan yang membuat seseorang lebih rentan terhadap tipuan video AI:
1. Terlalu Percaya pada Otoritas
Salah satu faktor yang membuat seseorang mudah tertipu adalah kecenderungan untuk langsung percaya pada apa pun yang dikatakan atau dilakukan oleh tokoh publik, selebriti, atau figur berpengaruh. Kecenderungan ini, yang dikenal sebagai authority bias, membuat otak kita secara otomatis menganggap informasi dari sumber yang dianggap berotoritas sebagai kebenaran, tanpa mempertanyakan keabsahannya. Ketika sebuah video deepfake menampilkan seorang tokoh terkenal yang berbicara atau melakukan sesuatu, orang yang memiliki authority bias cenderung langsung mempercayainya, tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.
2. Mengandalkan Emosi Lebih dari Analisis
Video deepfake seringkali dirancang untuk membangkitkan emosi tertentu, seperti tawa, kejutan, kemarahan, atau kesedihan. Orang yang lebih dominan menggunakan pola pikir emosional cenderung fokus pada reaksi perasaan yang ditimbulkan oleh video tersebut, daripada memeriksa detail teknis yang mungkin mengindikasikan bahwa video tersebut palsu. Karena tidak terbiasa melakukan analisis kritis saat emosi sedang memuncak, mereka menjadi lebih rentan terhadap tipuan.
3. Minim Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu adalah kunci untuk membongkar hal-hal yang tampak janggal atau mencurigakan. Orang dengan tingkat rasa ingin tahu yang rendah cenderung tidak peduli apakah sebuah video itu benar atau tidak. Mereka hanya menonton, mempercayainya, dan bahkan mungkin menyebarkannya tanpa melakukan pengecekan fakta. Dalam istilah psikologi, hal ini terkait dengan kepribadian yang kurang terbuka terhadap pengalaman baru (low openness to experience). Mereka cenderung lebih nyaman dengan apa yang sudah mereka ketahui dan tidak termotivasi untuk mencari tahu lebih banyak.
4. Lebih Mengutamakan Kecepatan daripada Ketelitian
Di era informasi yang serba cepat ini, banyak orang terbiasa mengonsumsi informasi secara instan. Mereka ingin segera mengetahui berita terbaru tanpa meluangkan waktu untuk memverifikasi kebenarannya. Tipe kepribadian yang terburu-buru dan kurang teliti ini seringkali luput dari detail-detail kecil yang bisa mengungkap keaslian sebuah video, seperti gerakan bibir yang tidak sinkron, bayangan yang aneh, atau suara yang terdengar dibuat-buat. Mereka lebih fokus pada kecepatan mendapatkan informasi daripada akurasinya.
5. Terjebak dalam Confirmation Bias
Confirmation bias adalah kecenderungan untuk mencari dan menafsirkan informasi yang sesuai dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Jika seseorang sudah memiliki pandangan atau opini tertentu, video deepfake yang seolah-olah mendukung pandangan tersebut akan langsung dianggap valid, meskipun sebenarnya palsu. Inilah mengapa orang yang keras kepala atau terlalu yakin pada pendapat pribadinya lebih mudah percaya pada konten manipulatif. Mereka cenderung mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka dan hanya fokus pada informasi yang menguatkan keyakinan tersebut.
6. Mengidealkan Sosok Tertentu
Orang yang sangat mengidolakan figur tertentu seringkali kehilangan objektivitas. Ketika muncul video palsu yang menampilkan idola mereka berbicara atau melakukan sesuatu, mereka cenderung lebih memilih untuk mempercayainya karena sesuai dengan harapan dan keinginan mereka. Fenomena ini berkaitan dengan parasocial relationship, yaitu keterikatan emosional satu arah pada figur publik. Mereka merasa memiliki hubungan dekat dengan idola mereka dan sulit untuk menerima informasi yang negatif atau meragukan tentang idola tersebut.
7. Kurang Literasi Digital
Kemampuan untuk mendeteksi video deepfake juga sangat bergantung pada literasi digital. Orang yang jarang berinteraksi dengan teknologi, tidak terbiasa dengan tren digital, atau tidak memiliki pengetahuan dasar tentang AI cenderung lebih mudah tertipu. Dalam psikologi kognitif, hal ini terkait dengan keterbatasan pattern recognition, yaitu kemampuan untuk mengenali pola dan ketidakwajaran dalam informasi visual. Mereka mungkin tidak menyadari adanya manipulasi dalam video tersebut karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan tentang teknologi AI.
Mengasah Kemampuan Deteksi Deepfake
Tidak bisa membedakan video AI asli atau palsu bukan hanya sekadar soal mata yang tertipu, melainkan juga mencerminkan kepribadian dan kebiasaan berpikir seseorang. Orang yang terlalu percaya pada otoritas, lebih emosional daripada analitis, kurang ingin tahu, terburu-buru, terjebak confirmation bias, mengidolakan figur tertentu, atau minim literasi digital, cenderung lebih mudah terperangkap oleh ilusi digital.
Oleh karena itu, penting untuk melatih diri agar lebih kritis, sabar, dan terbuka terhadap informasi baru. Kita perlu mengembangkan rasa ingin tahu, meningkatkan literasi digital, dan belajar untuk menganalisis informasi secara objektif, tanpa terpengaruh oleh emosi atau keyakinan pribadi. Dunia digital akan terus berkembang, dan hanya mereka yang mau belajar serta menjaga kewaspadaan yang dapat bertahan dari gelombang manipulasi informasi. Mulailah dengan membiasakan diri untuk memverifikasi informasi dari berbagai sumber, mencari tahu tentang teknologi AI, dan melatih kemampuan analisis kritis Anda. Dengan demikian, Anda akan menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan di era digital ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar