
Di sebuah desa yang tenang di lereng pegunungan Wonosalam, Jombang, Jawa Timur, seorang pemuda bernama Tariske Valentine menghidupkan kembali seni tradisional Barongan Jepaplok. Di tengah kesibukan dunia modern, Tariske, yang baru berusia 23 tahun, memilih jalan yang berbeda: melestarikan warisan budaya Jawa yang kaya.
Proses Pembuatan Barongan Jepaplok
Di bengkel sederhananya, suara ketukan pahat dan gesekan amplas menjadi melodi sehari-hari. Tariske dengan tekun mengubah potongan kayu waru krisik menjadi topeng Barongan yang ikonik. Proses ini bukanlah sekadar membuat topeng, tetapi juga menghidupkan cerita dan filosofi yang terkandung di dalamnya.
Pembuatan satu unit Barongan bukanlah pekerjaan singkat. Dibutuhkan waktu sekitar satu bulan, bahkan lebih, tergantung pada tingkat kerumitan desainnya. Bagian yang paling menantang adalah membuat kepala Barong itu sendiri. Presisi dan simetri adalah kunci utama. Jika tidak seimbang, karakter Barong bisa berubah drastis.
- Pemilihan Bahan: Kayu waru krisik dipilih karena ringan dan mudah dibentuk.
- Pengukiran: Proses pengukiran membutuhkan ketelitian dan keahlian tinggi. Setiap detail, mulai dari mata yang menyala hingga mulut yang menyeringai, harus diukir dengan sempurna.
- Pengecatan: Setelah ukiran selesai, proses pengecatan dilakukan dengan kombinasi warna-warna cerah dan mencolok. Tujuannya adalah agar topeng Barongan terlihat menarik dan memukau saat dipentaskan.
Filosofi di Balik Barongan
Bagi Tariske, Barongan bukan sekadar topeng atau karakter dalam pertunjukan seni. Barongan adalah simbol kekuatan, kekuasaan, dan karakter raja yang jahat. Mahkota Barong, yang disebut jamang, biasanya dihiasi dengan gambar naga liman, gabungan dari paksi (burung), naga, dan gajah. Simbol-simbol ini melambangkan kekuatan besar, tetapi juga mengingatkan bahwa kekuatan tersebut tidak selalu digunakan dengan bijak.
Menjaga Warisan Budaya
Kecintaan Tariske pada Barongan muncul sejak ia masih duduk di bangku SMP. Ia sering menonton pertunjukan kesenian rakyat dan terpikat oleh karakter topeng yang dimainkan para penari. Alih-alih mengikuti tren teman-temannya yang sibuk dengan gawai, Tariske memilih belajar mengukir secara otodidak.
Kini, setelah hampir satu dekade menekuni kerajinan Barongan Jepaplok, Tariske tidak hanya menjadi seorang perajin, tetapi juga seorang penggerak budaya. Ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga warisan budaya Jawa agar tetap hidup dan berkembang.
"Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Budaya Jawa itu kaya. Sayang kalau cuma jadi pajangan museum," ujarnya dengan penuh semangat.
Peminat dari Berbagai Daerah
Harga satu Barongan buatan Tariske berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 7,5 juta. Harga ini belum termasuk kostum, yang biasanya dipesan secara terpisah. Meskipun harganya tidak murah, peminatnya datang dari berbagai daerah, mulai dari Jombang, Kediri, Mojokerto, hingga Kalimantan dan Sumatera.
Puncak pesanan biasanya terjadi menjelang bulan Agustus, bertepatan dengan musim pertunjukan seni rakyat dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Pada momen ini, Tariske merasa senang karena Barongan masih dicari dan dihargai oleh masyarakat.
Tantangan di Era Digital
Di tengah era digital dan budaya instan, pilihan Tariske untuk bertahan dengan kerajinan tradisional bukanlah hal yang mudah. Namun, bagi pemuda ini, warisan budaya bukan hanya untuk dikenang, melainkan juga untuk dijaga agar tetap hidup dan berkembang. Ia percaya bahwa dengan melestarikan seni Barongan Jepaplok, ia turut berkontribusi dalam menjaga kekayaan budaya Indonesia. Tariske berharap, generasi muda lainnya dapat mengikuti jejaknya untuk terus melestarikan dan mengembangkan seni tradisional agar tidak punah ditelan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar