
Sebagai umat beriman, kita dipanggil untuk terus bertumbuh dan berubah, meninggalkan cara hidup lama dan mengenakan cara hidup baru yang berpusat pada Kristus. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose mengingatkan kita akan pentingnya hal ini, khususnya dalam konteks membangun persatuan dan kesejahteraan bangsa.
Transformasi Diri: Landasan Persatuan dan Kesejahteraan
Tema nasional ulang tahun ke-80 Proklamasi Indonesia, "Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Raya," menjadi panggilan bagi kita semua untuk merenungkan makna persatuan dan kerja sama dalam mencapai kemajuan bangsa. Namun, persatuan sejati tidak mungkin terwujud tanpa adanya transformasi diri, perubahan dari dalam hati setiap individu.
Sebelum menjadi pengikut Kristus, kita hidup dalam kegelapan dosa. Namun, melalui iman kepada Tuhan Yesus, dosa-dosa kita telah dikuburkan bersama kematian-Nya. Kita telah dilahirkan kembali dalam kehidupan yang baru. Kematian dan kehidupan kita kini tersembunyi di dalam Kristus yang telah bangkit.
Kebangkitan Kristus membawa daya kuasa yang memampukan kita untuk hidup dalam kehidupan yang baru. Kehidupan yang baru ini ditandai dengan:
- Belas kasihan: Merasakan penderitaan orang lain dan tergerak untuk membantu.
- Kemurahan hati: Memberi dengan sukarela dan tanpa pamrih.
- Kerendahan hati: Tidak sombong dan selalu menghargai orang lain.
- Kelemah-lembutan: Bersikap ramah dan sabar dalam menghadapi orang lain.
- Kesabaran: Mampu menahan diri dan tidak mudah marah.
Ciri-ciri kehidupan baru ini menjadi tanda yang nyata dan dapat dirasakan oleh sesama, membuktikan solidaritas kita dalam kehidupan bersama. Sebagai orang beriman, akar kehidupan kita tertanam dalam Tuhan Yesus.
Relevansi Nilai-Nilai Kristiani dalam Kehidupan Berbangsa
Nilai-nilai kehidupan baru dalam Kristus sangat relevan bagi kita sebagai bangsa Indonesia dalam membangun kesatuan dan mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera. Sayangnya, kita sering menyaksikan peristiwa-peristiwa yang menunjukkan betapa jauhnya kita dari nilai-nilai tersebut.
- Ejekan dan Celaan: Di berbagai tempat, orang saling mengejek, mencela, dan membenarkan diri sendiri serta kelompoknya. Pembenaran diri sering kali dilakukan dengan menyalahkan orang lain.
- Pamer Kekayaan: Orang kaya memamerkan kekayaan dan gaya hidup glamor tanpa peduli pada mereka yang hidup dalam kekurangan.
- Penyalahgunaan Jabatan: Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi masalah serius yang menghambat kemajuan bangsa.
- Kesenjangan Kaya-Miskin: Jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar dan dalam.
Semua permasalahan ini menunjukkan betapa pentingnya kita menghidupi tatanan kehidupan yang baru. Makna hidup yang sesungguhnya adalah bahwa hidup kita bukanlah milik kita sendiri, melainkan hidup yang juga bisa dinikmati oleh orang lain. Nilai hidup inilah yang harus menjadi landasan dalam mewujudkan Indonesia Raya yang jaya.
Hidup yang Bermakna: Bukan Milik Kita Sendiri
Hidup yang bermakna adalah hidup yang diabdikan untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan sesama. Ini berarti kita harus rela melepaskan ego kita, meninggalkan cara hidup yang egois dan materialistis, dan mengutamakan kepentingan orang lain.
Kita dipanggil untuk menjadi agen perubahan, membawa terang Kristus ke dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bisa kita lakukan melalui:
- Keteladanan: Menunjukkan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan sehari-hari.
- Pelayanan: Melayani orang lain dengan kasih dan tanpa pamrih, khususnya mereka yang membutuhkan.
- Advokasi: Menyuarakan kebenaran dan keadilan, serta memperjuangkan hak-hak mereka yang lemah dan tertindas.
Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi warga negara yang baik, tetapi juga menjadi saksi Kristus yang hidup, membawa dampak positif bagi bangsa dan negara.
Semoga Tuhan memampukan kita untuk rela hidup dalam tatanan kehidupan yang baru, kehidupan yang bermakna dan memuliakan nama-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar