
Di tengah persaingan industri yang makin ketat, permintaan akan penilaian kualitas yang efisien dan tepat sasaran jadi hal yang sangat dibutuhkan. Akan tetapi, teknik tradisional yang berbasis pengujian di lab umumnya butuh durasi panjang serta kemampuan spesifik untuk melaksanakan nya. Untuk merespon permasalahan ini, Guru Besar ITS nomor 215 yaitu Profesor Dr. Muhammad Rivai ST MT mencetuskan ide baru dengan nama Electronic Nose atau e-Nose.
Dosen yang biasa disapa Rivai ini memaparkan bagaimana e-Nose mampu menggantikan metode laboratorium. Sistem ini bekerja dengan meniru fungsi penciuman manusia, memungkinkan analisis kualitas produk, diagnosis kesehatan, hingga pemantauan lingkungan.
"Dengan menerapkan algoritme pembelajaran mesin, perangkat tersebut bisa memproses pola aroma dengan tepat sasaran dan cepat," terangnya, Selasa (08/04/2025).
Lelaki yang lahir di Surakarta ini sudah menerapkan teknologi e-Nose dalam banyak sektor. Alat ini telah diterapkan untuk mendeteksi diabetes dengan memeriksa sampel urine, menentukan derajat kekeringan pada kudapan kue, serta mendeteksi penyakit PPOK dan asma lewat napas para penderita.
“Sensor gas pada e-Nose yang digunakan berbeda tergantung kebutuhan,” ungkapnya.
Dalam penelitian deteksi diabetes, e-Nose dikembangkan menggunakan sensor gas berbasis Quartz Crystal Microbalance (QCM) yang dilapisi nanomaterial karbon. Sensor ini mampu mengenali pola aroma khas urine penderita diabetes dengan akurasi mencapai 91 persen. Dengan teknologi ini, diagnosis diabetes dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat.
"Inovasi ini dapat memberikan jawaban kepada orang-orang yang mencari cara pendeteksian tanpa perlu melakukan pengambilan sampel darah," terangnya.
Di samping itu, e-Nose turut dikembangkan guna mengidentifikasi penyakit pernafasan seperti asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Menggunakan gabungan dari 20 sensor gas berbahan semiconductor serta dipadukan dengan algoritme pembelajaran mesin, teknologi tersebut dapat memeriksa udara nafas para pasien secara efektif.
Teknologi tersebut sudah dicoba pada pasien di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) serta RSU dr Soetomo. Berdasarkan hasil uji coba, e-Nose menunjukkan keakurasian yang tinggi dalam mendistinguiskan antara pasien dengan penyakit PPOK atau asma dan mereka yang sehat.
Tak hanya dalam dunia medis, e-Nose juga diterapkan dalam industri pangan. Dalam industri ini, Rivai menggunakan sensor gas Metal Oxide Semiconductor (MOS) untuk mengidentifikasi tingkat kematangan kue kering. Teknologi ini dapat menggantikan metode subjektif berbasis warna atau waktu pemanggangan dengan akurasi mencapai 90 persen.
"Dengan menggunakan sistem ini, produsen makanan bisa mengatur standar mutu produk menjadi lebih obyektif," jelas Rivai.
Lebih lanjut, Rivai mengatakan, e-Nose juga dikembangkan untuk keamanan lingkungan dan industri, khususnya dalam sistem robot pencari kebocoran gas berbasis LiDAR. Robot ini mampu melacak sumber kebocoran gas dengan efisiensi 62,2 persen lebih tinggi dibandingkan metode konvensional. Penerapan teknologi ini menjadi langkah strategis dalam meningkatkan keamanan di industri migas serta mitigasi risiko lingkungan.
Melalui sejumlah tindakan yang sudah diambil, Rivai menyatakan bahwa studinya membantu dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), secara spesifik pada butir ketiga tentang kesehatan yang prima dan kemakmuran. Tambahan lagi, ia merujuk kepada butir kesembilan berkaitan dengan infrastruktur, industri, dan inovasi, bersama-sama dengan butir ketigabelas yang menekankan upaya dalam pengendalian perubahan iklim.
Dia menginginkan agar inovasinya bisa membawa manfaat langsung kepada orang banyak di segala bidang kehidupan.
"Kami mengharapkannya agar riset ini tak sekadar terbatas pada lingkungan lab, melainkan mampu memberi manfaat positif yang signifikan untuk kehidupan sejumlah besar orang," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar